Orang Manado

Orang Manado

- Jangan terburu mengambil kesimpulan buruk jika mendengar kalimat itu meluncur dari bibir pelancong atau pemandu perjalanan saat Anda berkunjung ke Manado atau wilayah lainnya di Sulawesi Utara. Di antara sejumlah pesona yang ada di kawasan paling utara Indonesia itu, jangan pula dilewatkan untuk mencatat lima B yang hanya ada di daerah tersebut.

Lima B yang selalu didengungkan setiba di Manado adalah lima hal yang menurut pemandu wisata setidaknya wajib diketahui bagi wisatawan yang berkunjung ke Sulawesi Utara. Kelimanya adalah Bunaken, Bitung, Bukit Kasih, bubur Manado, dan bibir Manado.

Taman Laut Bunaken memang telah mendunia, Pelabuhan Bitung adalah pelabuhan terbesar di Indonesia wilayah timur, Bukit Kasih adalah simbol kerukunan warga Sulawesi Utara, bubur Manado adalah bubur dengan cita-rasa khas setempat, sedangkan bibir Manado adalah penggambaran orang untuk memuji kecantikan perempuan Manado.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya katakan semula bahwa lima B itu memang wajib diketahui jika berkunjung ke Manado. Tidak semua harus dikunjungi, terutama B yang kelima (bibir Manado -red). Bisa berbahaya nanti," ujar Deissy Solang, pemandu wisata yang bertugas memandu kami selama berada di daerah Sulawesi Utara.

Untuk rata-rata orang Indonesia, perempuan-perempuan Manado memang terbilang memiliki paras wajah dan postur tubuh yang cantik. Maklum, letaknya yang berhadapan langsung dengan Samudera Pasific memungkinan terjadinya perkawinan silang berbagai yang membuahkan warga Sulawesi Utara saat ini. Konon, penduduk asli Manado berasal dari ras Mongolia yang kemudian kawin-mawin dengan bangsa Jepang dan Portugis.

"Perkawinan silang berbagai bangsa itulah yang menghasilkan perempuan-perempuan cantik Manado. Tapi beruntunglah bagi yang bukan orang Manado, karena masih berkesempatan menikahi perempuan cantik Manado. Sesama orang Manado dilarang menikah, karena ada semboyan

(kita semua bersaudara)," lanjut Deissy.

Tapi buru-buru Deissy meralatnya. Semboyan yang amat terkenal itu bukan untuk mengatur perkawinan, melainkan menjadi pegangan dasar hidup rukun bersama di bumi nyiur melambai tersebut. Sebab perpaduan berbagai bangsa yang kawin-mawin di Sulut, juga diikuti dengan masuknya berbagai pengaruh kebudayaan, adat-istiadat dan juga keyakinan.

Keberagaman yang tumbuh di kawasan itu memang mencerminkan kehidupan inklusif. Kelompok minoritas bisa dengan aman menjalani kehidupan berdampingan dengan kelompok mayoritas yang bersedia merengkuh. Dari kondisi ini memang beruntunglah bagi yang bukan orang Manado, karena bisa belajar melihat keberagaman terpadu dengan apiknya di satu tempat tak seberapa luas di Manado.

Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Utara, Fredrik Rotinsulu, mengatakan warganya memegang semboyan itu tak hanya berhenti pada kata-kata sehingga bisa hidup rukun. Suku Manado dan Minahasa yang paling dominan, mampu merangkul waga dari suku-suku lain yang tinggal di daerah itu. Penganut Kristen Protestan yang mayoritas mampu memberi kesejukan bagi penganut keyakinan lain untuk tetap tenang dalam melaksanakan peribadatannya.

"Selain itu, ada petuah bijak dari Dr Sam Ratulangi, pahlawan nasional dari Sulawesi Utara ini. Petuah beliau itu berbunyi,

yang artinya manusia hidup untuk menghidupkan manusia lainnya. Kedua nasehat itu terus diabadikan di benak masing-masing kami untuk dilaksanakan dalam realitas kehidupan," ujar Rotinsulu.

Secara geografis letak Sulawesi Utara memang cukup riskan 'tertular' konflik. Daerah itu berbatasan langsung dengan Poso, Maluku, Maluku Utara, dan Mindanao Selatan (Filipina). Keempat kawasan itu pernah mencatat sejarah yang kurang menyenangkan terkait konflik berlatar keagaman.

Namun kesadaran semua bersaudara dan menghidupi orang lain itulah, lanjut Rotinsulu, yang mampu membentengi Sulut hingga sekarang. Dia menyontohkan, setiap perayaan Natal, seluruh umat kristiani bisa dengan tenang beribadah karena gereja dan kawasan hunian dijaga pemuda non-kristiani. Demikian juga sebaliknya, jika umat muslim merayakan Idul Fitri, para pemuda non-muslim yang bertugas mengamankan. Begitu pula jika umat beragama lainnya merayakan hari raya.

Keberagaman yang terjaga dengan baik itupun diabadikan dalam sebuah monumen besar bernama Bukit Kasih, di Desa Kanonang, Kecamatan Kawangkoan, Minahasa Induk. Lokasinya berjarak sekitar 50 km dari Manado. Lokasinya tak jauh dari kawah belerang di kaki Gunung Soputan.

Di Kawasan itu didirikan sebuah tugu cukup tinggi dan besar dengan lima sisi yang masing-masing sisi terdapat tulisan dari kutipan lima kitab suci agama. Kutipan yang dipilih, kesemuanya mencerminkan ajakan kerukunan dan saling menyayangi semua manusia. Di puncak tugu tergambar bola dunia serta burung merpati menggigit ranting zaitun yang selama ini memang disepakati sebagai simbol kemanusiaan dan perdamaian.

Menurut cerita masyarakat setempat, wilayah dipercaya sebagai tempat meninggalnya nenek moyang orang Minahasa, yakni Toar dan Lumimuut. Gambaran wajah keduanya pun dipahat di tebing batu di salah satu lembah bukit, wajah keduanya menghadap pada lima rumah ibadah. Untuk sampai ke lokasi tersebut, pengunjung harus terlebih dulu menapaki 2435 anak tangga. Tak jelas benar, apa makna angka tersebut bagi sebuah perjalanan menuju kerukunan dan perdamaian.

"Menurut cerita, tata letak Toar dan Lumimuut menghadap lima tempat ibadah itu dimaksudkan untuk lebih memudahkan bagi pengunjung, terutama orang Minahasa sendiri, dalam menarik kesimpulan bahwa semua orang bersaudara dan berasal dari satu nenek-moyang yang sama," ujar Deissy.

"Di Bukit Kasih inilah benih-benih kasih sayang sebagai manusia selalu ditebar dan ditanam. Di tempat ini pula, para pemuka berbagai agama juga selalu mengadakan pertemuan untuk mencari solusi bersama jika di tengah msayarakat ditemukan benih-benih persoalan bernuansa agama," lanjutnya.

Beruntunglah orang Manado yang mampu memadukan perbedaan sebagai kekuatan. Tapi bagi Anda yang bukan orang Manado, seharusnya mampu memaknai kalimat dari pemandu wisata tadi; beruntung (pulalah) bagi Anda yang bukan orang Manado, karena Anda masih berkesempatan untuk belajar kerukunan dan kebersamaan hidup kepada mereka.

MANADO, iNewsManado.com – Kebiasaan orang Manado akan diulas dalam artikel kali ini. Sama seperti daerah lain pastinya, orang Manado pasti memiliki kebiasaan yang khas.

Mengulas kebiasaan orang Manado tentunya akan datang beragam dari sejumlah kalangan.

Namun, kali ini kebiasaan orang Manado yang diangkat adalah seputar sebuah hal yang sering dilakukan dan jadi ciri khas di Manado.

Menarik diulas apabila sebuah hal dianggap tabuh di daerah lain, namun di sebuah daerah menjadi sebuah tradisi turun temurun.

Sekadar diketahui, Manado pada khususnya dan Sulawesi Utara pada umumnya didiami masyarakat dengan berbagai suku dan RAS. Selain itu, di Manado juga banyak terdapat keturunan perkawinan silang eropa dan Asia di masa lalu.

Diketahui, Bangsa Portugis adalah bangsa barat yang pertama kali datang di Sulawesi Utara, kapal Portugis berlabuh di Pulau Manado di masa Kerajaan Manado tahun 1521. Kapal Spanyol berlabuh di Pulau Talaud dan Siau, terus ke Ternate. Portugis membangun benteng di Amurang. Spanyol membangun Benteng di Manado, sejak itu Minahasa mulai dikuasai Spanyol.

Perlawanan melawan penjajahan Spanyol memuncak tahun 1660-1664. Kapal Belanda mendarat di Kota Manado pada tahun 1660 dalam membantu perjuangan Konfederasi Minahasa melawan Spanyol. Perserikatan negara-negara republik anggota Konfederasi Minahasa mengadakan Perjanjian Dagang dengan VOC. Perjanjian kerja sama dagang ini kemudian menjadikan VOC memonopoli perdagangan, yang lama kelamaan mulai memaksakan kehendaknya, akhirnya menimbulkan perlawanan tahun 1700-an di Ratahan yang memuncak pada Perang Minahasa-Belanda tahun 1809-1811 di Tondano. Sehingga wajar, perkawinan silang penduduk lokal dengan RAS eropa membuat kebudayaan di Manado sangat beragam dan tingkat toleransinya tinggi.

Berikut 5 kebiasaan orang Manado yang dirangkum iNewsManado.com, Rabu (28/12/2022):

[caption id="attachment_287013" align="aligncenter" width="263" caption="Manado dilihat dari udara (kerukunankawanua.edublogs.org)"][/caption]

SEMUA daerah di Indonesia punya semacam falsafah hidup yang mendasari kehidupan penduduknya. Manado (atau Sulawesi Utara pada umumnya) juga punya banyak falsafah hidup unik. Beberapa di antaranya patut Anda tiru. Sebagian lagi, sebaiknya, jangan.

Falsafah (unik)  apa saja yang ada di Manado? Ini dia 1. Lebe Bae Kala Nasi Asal Jang Kala Aksi Falsafah ini, arti harfiahnya kira-kira: Lebih baik kalah nasi asal jangan kalah aksi. Atau, lebih baik tidak makan asal tetap gaya.

Ya. Bagi sebagian (besar?) orang Manado, penampilan itu penting. Gaya itu nomor satu. Makanya, banyak orang yang menganggapnya sebagai hal paling utama, yang bahkan lebih penting dari makanan di rumah. Orang Manado banyak yang memilih tidak makan sepanjang tetap tampil gaya. Jika ada uang 20 ribu dan pilihannya beras atau pulsa, maka pilihannya adalah pulsa!!

Di sejumlah mall di Manado anda akan menemukan banyak opa-opa berusia 60-an tahun yang tampil gaya: sepatu fantovel, kemeja rapi, rambut disemir dan wangi. Oma-oma juga tak mau kalah. Rambut dicat warna-warni dengan busana termutakhir.

Di Kota Tondano yang menjadi ibukota Kabupaten Minahasa, banyak preman yang berpenampilan modis. Sepatu kets merek N*ke atau Adid*as, celana jeans merek L*vis, kemeja hingga kacamata hitam Rayb*an. Dan jangan berpikir kalau yang mereka pakai itu aspal. Tidak. Mereknya asli. Banyak orang Manado yang alergi dan 'gatal-gatal' jika memakai busana merek aspal, hehehe.

Karena mementingkan gaya, banyak orang Manado yang gengsian. Itu sebabnya rata-rata penjual sayur, tukang bakso atau penjual es krim keliling  merek W*lls didominasi orang Jawa. Bagi orang Manado, profesi seperti itu sama sekali tidak gaya.

Kini, di Minahasa, banyak sawah yang terlantar. Sejumlah petani mulai merasa bekerja di sawah tidak gaya. Mereka kini memilih profesi yang dianggap lebih keren: tukang ojek.

Tentu tidak semua orang Manado itu lebih mementingkan gaya. Banyak juga yang suka berpenampilan seadanya. Namun jumlah mereka tidak sebanyak yang suka bergaya. Yang lebih memilih gak makan asal tetap tampil gaya.

Cungkel, adalah istilah untuk menyebut kegiatan 'memetik buah' menggunakan galah, seperti yang dilakukan pada pepaya (istilah bahasa Indonesianya apa ya? Menjolok?). Mencungkel adalah upaya yang dilakukan supaya buah yang di atas bisa jatuh.

Lihat Sosbud Selengkapnya

Terjadi kesalahan. Tunggu sebentar dan coba lagi.

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Peristiwa Merah Putih di Manado merupakan peristiwa penyerbuan markas militer Belanda yang berada di Teling, Manado pada tanggal 14 Februari 1946. Berbagai himpunan rakyat di Sulawesi Utara, meliputi pasukan KNIL dari kalangan pribumi, barisan pejuang, dan laskar rakyat berusaha merebut kembali kekuasaan atas Manado, Tomohon, dan Minahasa yang ditandai dengan pengibaran bendera merah putih di atas gedung tangsi militer Belanda. Peristiwa tersebut merupakan bentuk perlawanan rakyat Sulawesi Utara untuk mempertahankan kemerdekaannya serta menolak atas provokasi tentara Belanda yang menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 hanya untuk Pulau Sumatera dan Jawa semata.[2]

Berita prokamasi kemerdekaan Indonesia baru terdengar oleh rakyat di Sulawesi Utara pada 21 Agustus 1945. Mereka dengan segera mengibarkan bendera merah putih di setiap area dan menduduki kantor-kantor yang sebelumnya dikuasai oleh tentara Jepang serta melucuti semua senjatanya. Namun kedatangan tentara sekutu bersama NICA pada awal Oktober 1945 di Sulawesi Utara membawa suasana rakyat kembali ricuh. Belanda menginginkan kekuasaan sepenuhnya atas Sulawesi Utara terutama Manado. Namun rakyat Manado menolak dan memilih untuk melawan. Kemudian serangan dari sekutu dan Belanda membuat Manado dan sekitarnya kembali diduduki oleh tentara Belanda.[4]

Letnan Kolonel Charles Choesj Taulu, seorang pemimpin dikalangan militer bersama Sersan S.D. Wuisan menggerakkan pasukannya dan para pejuang rakyat untuk ikut mengambil alih markas pusat militer Belanda. Rencana tersebut telah disusun sejak tanggal 7 Februari 1946 dan mereka mendapatkan bantuan seorang politisi dari kalangan sipil, Bernard Wilhelm Lapian. Puncak penyerbuan terjadi pada tanggal 14 Februari, Namun sebelum penyerbuan terlaksana, para pimpinan pasukan tertangkap oleh tentara Belanda termasuk Charles C Taulu dan S.D. Wuisan.[2] Akibatnya pemberontakan ke tangsi militer Belanda dialihtugaskan kepada komando Mambi Runtukahu yang memimpin anggota KNIL dari orang Minahasa. Bersama rakyat Manado mereka berhasil membebaskan Charlis Choesj Taulu, Wim Tamburian, serta beberapa pimpinan lainnya yang ditawan. Puncak penyerbuan tersebut ditandai dengan perobekan bendera Belanda yang awalnya berwarna merah, putih, dan biru menjadi merah dan putih lalu dikibarkan diatas gedung markas Belanda. Mereka juga berhasil menahan pimpinan pasukan Belanda diantaranya adalah pimpinan tangsi militer Letnan Verwaayen, pemimpin garnisun Manado Kapten Blom, komandan KNIL Sulawesi Utara Letnan Kolonel de Vries, dan seorang residen Coomans de Ruyter beserta seluruh anggota NICA.[6] Namun pengambilalihan kekuasaan Belanda tersebut hanya sementara.[7]

Pada awal Maret kapal perang Belanda Piet Hein tiba di Manado dengan membawa pasukan sekitar satu batalyon. Kedatangan mereka disambut oleh pasukan KNIL yang memihak pada Belanda. Kemudian pada tanggal 11 Maret, para pimpinan gerakan merah putih diundang ke kapal Belanda untuk melakukan perundingan, yang tujuan sebenarnya adalah untuk menahan para pimpinan rakyat Sulawesi Utara. Hal tersebut merupakan siasat tentara Belanda agar dapat melemahkan pejuang rakyat dan mengambil alih kembali wilayah Sulawesi Utara.